Fenomena kekerasan politik dan politik belah bambu beberapa tahun terakhir ini telah mewarnai kehidupan bangsa ini. Hal ini tidak saja sebatas pada persoalan politik kekuasaan tapi juga merambah pada spektrum lebih luas.
Perebutan ruang publik dan monopoli kebenaran tunggal tidak jarang menggiring pada pertentangan kepentingan. Pertentangan kepentingan itu bisa berupa kepentingan kekuasaan politik dan ekonomi.
Menguatnya gerakan populisme akhir-akhirnya sebagai bentuk perlawanan tehadap kebenaran tunggal atau tafsir kebenaran dari pemegang otoritas menjadi pemicu kekerasan politik.
Tafsir kebenaran ditangan pemilik otoritas sehingga ruang publik menjadi arena laga yang paling seksi dalam beberapa tahun terakhir ini. Monopoli kebenaran di tangan para pemegang otoritas itu menjadi adu kekuatan dengan gerakan populisme yang semakin menemukan habitatnya di era isu demokratisasi.
Gerakan populisme ini membangkitkan spirit perlawanan terhadap pemegang otoritas kebenaran tunggal. Menguatnya otoritas kebenaran tunggal itu diiringi menguatnya gerakan populisme dan memunculkan tokoh-tokoh atau informal leader dimana-mana.
Informal leader ini menjadi katalisator dari sebuah kerinduan dan keresahan di tenah krisis kepemimpin dan kepercayaan tehadap pemegang otoritas kebenaran atau formal leader. Tidak hanya itu, krisis kepercayaan terhadap lembaga-lembaga demokrasi dan elit politik menjadi alasan menguatnya gerakan populisme yang di drive oleh sekelompok informal leader.
Menguatnya informal leader ini sebagai pertemuan akumulasi kerinduan yang menganggap bahwa pemegang otoritas kebenaran tidak memberikan jawaban kritis terhadap persoalan kebangsaan. Persoalan kebangsaan itu bisa saja dalam politik kekuasaan dan ekonomi yang dianggap paling krusial yang memerlukan jawaban strategis dan kebijakan dari penguasa kebenaran.
Pertarungan antara penguasa kebenaran dan gerakan populisme dengan segala variannya sebagai realitas sosilogi yang saling berhadapan. Kekerasan politik dan politik belah bambu menjadi drama kolosal menyakitkan bagi bangsa ini.
Histeria kekerasan politik dan politik belah bambu semakin mengeras ditengah krisis ekonomi dan berkepanjangan. Krisis ekonomi berkepanjang ini menjadi lahan subur memunculkan resistensi ketika negara atau penguasa tidak memiliki kearifan mebagi kebenaran.
Kebenaran itu harus ditafsirkan secara bersama-sama sesama anak bangsa. Tidak ada yang merasa paling benar dan menafsirkan makna demokrasi politik dan ekonomi. Ini adalah negara demokrasi sebagai jalan hidup berbangsa dan bernegara. Tidak ada anak tiri di negeri ini karena sama-sama lahir dari rahim ibu pertiwi.
Seiring perjalanan waktu di era demokrasi saat ini, kekerasan politik dan politik belah bambu warisan rezim Orde Baru masih mewarnai praktek kekuasaan politik dan ekonomi. Komunitas sipil menjadi pilar demokrasi justru mengalami marjinalisasi dan penekanan dari pemegang kebenaran.
Politik represif dan dominasi kebenaran masih menguat dalam realitas sosio-ekonomi dan politik. Politik represif dan dominasi kebenaran ini telah melahirkan struktur kesempatan bagi para petualang politik atau para instalator politik dengan cara mereposisi diri masuk dalam jaringan patronase politik dan ekonomi.
Para petualangan ini menjadi agen oligarki politik kekuasaan dan bisa jadi menjadi instrumen untuk mewaspadai gerakan populis atau komunitas sipil.
Para instalator kekuasaan oligarki itu bisa saja menjadi bagian alat kolabosarsi untuk menditeksi ruang-ruang publik yang terindikasi virus intoleransi, radikalisme dan pengacau terhadap kekuasaan politik. Munculnya kriminalisasi politik atau kekerasan politik dan pelanggaran Hak Azazi Manusia (HAM) sebagai dampak dari transisi demokrasi dan konsolidasi politik berkepanjangan.
Pergeseran dari kekuasaan otoriter di era rezim Orde Baru menuju demokrasi memberikan dampak terhadap institusi kekuasaan. Perubahan institusi kekuasaan telah merubah desain perpolitikan nasional namun tidak merubah desain karakter oligarki dan predatoris warisan rezim Orde Baru (Vedi R Hadis, 2010, Jeffrey Winters, 2011).
Tulisan ini sebagai catatan refleksi dipenghujung akhir tahun ini. Deskripsi ini sebagai catatan kritis terutama terkait persolan sosio-ekonomi dan politik yang masih merefresentasikan kekuatan oligarki. Kekuatan oligarki telah mengendalikan kekuasaan terutama dalam politik dan ekonomi.
Sumber daya politik dan ekonomi dalam kuasa para oligarki termasuk kontestasi politik (Pilkada). Kekuatan oligarki menjadi pemain yang mengatur irama permainan politik nasional dan lokal.
Produk kekuasaan politik hasil Pilkada menjadi kemenangan bagi para oligarki yang berhasil beternak politik kekuasaan bagi calon kepala daerah terpilih. Akibatnya, kepala daerah terpilih sudah pasti dalam bayang-banyang para oligarki.
Pilkada sesungguhnya sebagai bentuk arena bisnis politik di negeri ini yang diwarnai politik persekongkolan. Politik persekongkolan ini mengahalalkan berbagai macam cara termasuk permainan kuasa uang.
Kuasa uang menjadi rumus dalam pertarungan politik yang sulit dihandari di negeri. Akibatnya, Pilkada menjadi arena perjudian kekuasaan dan sekaligus arena kolaborasi para aktor politik.
Posisi rakyat sebagai pemegang daulat tidak mampu melawan daulat kuasa uang. Daulat kuasa uang ini akan semakin subur bila paragmatisme politik masih kuat dan literasi politik warga masih rendah. Keberadaan partai politik yang sejatinya menjadi instrumen pencerdasan politik rakyat justru menjadi instrumen pelembagaan feodalisme poltik seperti politik famili dan memperlakukan partai politik sebagai perusahaan pribadi.
Selama sistem politik dan prilaku partai politik masih berwatak oligarki dan akan selamanya kekuasaan oligarki ini akan berkembang. Oleh karena itu, perlu penguatan politik bagi lembaga-lembaga non state atau menguatan bagi komunitas sipil menjadi kekuatan penyebang bagi hegemoni negara.
Hegemoni negara tidak bisa dibiarkan secara liar dan perlu kekuatan kontrol sebagai penyeimbang. Kekuatan kontrol dan penyeimbang ini menjadi sangat penting yang berfungsi sebagai instrumen komunikasi politik antara state dan civil society untuk mereduksi monopoli kebenaran dan tafsir kebenaran secara sepihak.
Selain itu, state harus memposisikan sebagai instrumen yang selalu hadir secara genuin memberikan jawaban krusial terhadap persoalan kebangsaan bulan melembagakan praktik kekerasan politik dan politik belah bambu ala rezim Orde Baru. Selamat memasuki tahun baru 2021 dengan semangat baru dan penuh optimis.
Penulis: Muhammad Uhaib As’ad
Direktur Pusat Studi Politik dan Kebijakan Publik Banjarmasin