Penjara bukan tempat nyaman. Pengalaman pribadiku membuktikan bahwa penjara tempat paling buruk bagi manusia. Penjara pun menyisakan banyak cerita unik, sedih, dan bagaimana orang-orang menempa diri jadi pribadi tangguh di tengah situasi sulit.
Ihwal makanan, jangan harap mendapat makanan wah nan lezat. Kami dilatih iklas menerima apa adanya jatah makanan pemberian petugas penjara. Sikap iklas dan prihatin adalah solusi bertahan hidup di tengah minimnya logistik.
Menjelang siang, ratusan tahanan dan narapidana di Rumah Tahanan Polres Kotabaru biasanya gelisah karena perut keroncongan. Asupan teh hangat dan sedikit wadai di pagi hari, belum cukup mengganjal rasa lapar di perut. Di penjara, kami orang-orang kelaparan yang butuh banyak asupan gizi.
Selepas subuh, saya dan ratusan tahanan lain kerap pesan jajan pasar– orang Banjar menyebut wadai– untuk sekedar mengganjal lapar. Lumayan seraya menunggu kiriman nasi jaksa dari Lapas Kelas IIA Kotabaru dan nasi ampreng– sebutan untuk nasi jatah tahanan Polres Kotabaru.
Di Rutan Polres Kotabaru, ada tiga pengelompokan tahanan: tahanan polres, tahanan jaksa, dan tahanan lapas (narapidana). Status tahanan polres disematkan bagi mereka yang masih tahap penyidikan. Ketika berkas perkara resmi dilimpahkan ke kejaksaan, maka status mereka berubah jadi tahanan jaksa. Dalam kondisi normal tanpa Covid-19, tahanan jaksa sudah dikirim ke lembaga pemasyarakatan.
Adapun status narapidana atau tahanan lapas yang sudah divonis Pengadilan Negeri Kotabaru. Tahanan jaksa dan narapidana menerima jatah nasi bungkus kiriman dari petugas Lapas Kelas IIA Kotabaru. Kami menyebutnya nasi jaksa. Jika jam menunjuk pukul 10.30 wita, kami sering kasak-kusuk: “Nasi jaksa sudah datang, kah?”
Kami selalu menantikan deru mobil panther setiap siang dan sore. Mobil milik Lapas Kelas IIA Kotabaru ini membawa logistik nasi bungkus untuk tahanan jaksa dan narapidana.
Untuk tahanan polres, mereka diberi nasi ampreng. Disebut nasi ampreng karena ditempatkan dalam wadah plastik bundar berkelir merah. Nasi ampreng boleh dibilang lebih bergizi ketimbang nasi jaksa. Satu porsi nasi ampreng berisi sayur berkuah, sepotong buah, plus lauk-pauk.
Nasi jaksa biasanya diisi secuil lauk dan sedikit sayuran. Agar rasa di lidah tak hambar, kami menaburi garam atau kecap manis. Lauk nasi jaksa pun ala kadarnya macam ikan asin — kami menyebut iwak karing, secuil ikan bandeng, atau secuil telor dadar.
Saya pernah apes karena tidak kebagian lauk dalam nasi bungkus. Kalau sudah begini, saya terpaksa makan nasi dicampur mie instan yang sebungkusnya Rp 5 ribu. Mie ini dibagi dua, antara saya dan Mustakim alias Pak De. Jika Mustakim yang punya stok mie, maka saya minta Doi untuk memasak mie miliknya. Begitupun sebaliknya.
Mie instan tak perlu direbus karena ketiadaan kompor. Agar praktis dan siap disantap, bungkus mie diisi air mineral tanpa direbus. Jika mau bersabar air panas, kami meminta tolong petugas jaga untuk merebuskan air di ruang penjagaan. Petugas punya teko elektrik pemanas air.
Nah, ada yang lucu dan kacau ketika pembagian nasi jaksa di Rutan Polres Kotabaru. Bersama tahanan pendamping, petugas Lapas Kelas IIA Kotabaru mengirim nasi jaksa ke penjara polres setiap pukul 11.00 wita dan 16.30 wita saban hari. Nasi-nasi kiriman ini disortir lagi di selasar tengah penjara.
Tahanan pendamping di rutan polres menghitung ulang sesuai jumlah terakhir tahanan jaksa dan narapidana, sebelum dibagikan. Angka terakhir tahanan mengacu apel malam di penjara. Setelah lengkap, perwakilan kelompok atau individu tahanan mengambilnya.
Toh, sekalipun sudah disortir, pembagian nasi jaksa sering memicu gaduh karena ada saja satu-dua orang tahanan yang luput tak menerima nasi jatah. Padahal, petugas Lapas Kelas IIA Kotabaru mengirim nasi sesuai jumlah tahanan jaksa dan narapidana titipan di Rutan Polres Kotabaru.
Sebagai gambaran, penghuni Rutan Polres Kotabaru kisaran 130-140 orang. Dari angka ini, 75 persen dihuni tahanan jaksa dan narapidana yang sudah divonis Pengadilan Negeri Kotabaru. Riuh, sesak, dan semrawut. Begitulah suasana penjara, dan jangan harap ada privasi.
Kembali ke balada nasi jaksa. Sekalipun mengambil secara kelompok atau seorang diri, tapi ada saja tahanan yang mengambil nasi dobel. Maklum, si tahanan sudah diambilkan lewat kelompoknya, tapi masih mengambil lagi seorang diri. Tabiat macam ini sangat wajar lantaran kelaparan. Kemungkinan juga si tahanan tidak tahu jika sudah diambilkan kolega satu kelompoknya.
Di sinilah awal mula kisruh pembagian nasi jaksa. Tahanan yang apes tidak kebagian nasi jaksa biasanya woro-woro: “Ada kelebihan nasi jaksa kah? Nasi kawan jangan diambil, woi!”
Kalau sudah suasana gaduh, biasanya ada tahanan yang mengalah. Nasi jatahnya diberikan ke tahanan yang belum kebagian. Itu lah lucu dan gokilnya bagi-bagi nasi jaksa di penjara. Kejadian macam ini tidak sekali-dua kali, tapi berulang kali.
Adapun pembagian nasi ampreng nyaris tak mendapati gaduh. Tahanan polres lebih sedikit, jadi mudah mendeteksi siapa tahanan yang curang. Jika tak selera nasi ampreng atau nasi jaksa, biasanya di antara tahanan saling bertukar nasi.
Penghuni rutan polres memang bejubel karena Lapas Kelas IIA Kotabaru belum sepenuhnya menerima kiriman tahanan jaksa dan narapidana akibat pandemi Covid-19. Inilah pemicu kepadatan di penjara Polres Kotabaru yang didominasi tahanan jaksa dan narapidana, ketimbang tahanan polres.
Maklum, status tahanan jaksa dan narapidana mestinya langsung meringkuk di lapas. Lantaran pandemi, Lapas hanya menerima narapidana yang sudah divonis. Itupun cuma 10-20 orang narapidana yang dieksekusi setiap dua pekan sekali.
Gelombang pengiriman pertama narapidana pasca penutupan Lapas pada 11 Juni 2020. Saya pun seharunya sudah mendekam di Lapas Kelas IIA Kotabaru. Mengacu jadwal eksekusi, saya sebenarnya dieksekusi ke Lapas Kelas IIA Kotabaru pada 18 Agustus 2020. Namun, rencana ini batal karena saya keburu bebas pada 17 Agustus 2020, tepat Hari Kemerdekaan RI ke-75.